Hukum Internasional Klasik

India Kuno
Dalam kebudayaaan India kuno terdapat kaidah  dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antara kasta, suku bangsa dan raja-raja. Menurut Bannerjce,   adat kebiasaan yang mengatur hubungan antar raja, yang disebut Desa DharmaGautama Sutera dan undang-undang Manu  memuat tentang hukum kerajaan. Hukum yang mengatur hubungan antar raja-raja pada masa itu tidak dapat dikatakan sebagai hukum internasional, karena belum  ada pemisahan dengan agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu itu sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan hak istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang dan cara berperang (Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes; op. cit.: 26)
Cina Kuno
Cina memperkenalkan nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk kelompok-kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan negara  yang bersifat regional tributary state. Pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok  yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu.

Yunani Kuno
Menurut Vinoggradoff,  pada masa itu telah ada hukum intermunicipal, yaitu  kaidah-kaidah kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara kota, seperti ketentuan mengenai utusan, pernyataan perang, perbudakan tawanan perang. Kaidah-kaidah intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga dari negara kota. Namun kaidah intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh agama, sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum. Moral, keadilan, dan agama. (Starke, J.G.; op. cit: 9).
Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu : orang Yunani dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga,  telah dikenal ketentuan perwasitan dan wakil-wakil dagang (konsul). Sumbangan yang terpenting bagi hukum internasional adalah  konsep hukum alam, konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh orang-orang Romawi.

Romawi Kuno
Pada masa   Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu imperium, yaitu Imperium  Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi  bagi perkembangan hukum pada umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan  hukum internasional. Pada masa  Romawi ini diadakan  pembedaan antara Ius Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium hanya dapat di kaitkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum alam) meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap hukum pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa Kaisar Justinianus. Konsep-konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian diterima dalam hukum internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta sunt servanda.

Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak mengalami perkembangan Hal ini disebabkan karena  adanya Imperium Romawi Suci (Holly Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka yang berdiri sendiri, serta adanya struktur  masyarakat eropa barat yang bersifat feodal, yang melekat pada hierarki otoritas yang menghambat munculnya negara-negara merdeka, oleh  karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur hubungan antar bangsa-bangsa.
Share on Google Plus

About Saifudien Djazuli

Direktur Law Study Forum (LSF) Ciputat, Pengamat Hukum, Konsultan Hukum (legal consultan, saat ini menjabat sebagai wakil sekretaris Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia Wilayah DKI Jakarta, silahkan hubungi ke email djazuli10@gmail.com.

0 komentar:

Posting Komentar